Bundaku Part.5

“Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah,” kataku.

Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.

“Maafkan, bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan ayahmu,” katanya.

“Boleh Doni minta sesuatu, bunda?” tanyaku.

“Apa itu?” tanyanya.

“Doni ingin mencium bunda,” kataku.

Ia tersenyum, “Boleh saja, kenapa memangnya?”

“Tapi bukan di pipi, di sini,” kataku sambil menyentuhkan telunjukku di bibirnya.

“Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu,” kata bunda.

“Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please… sekali saja,” kataku.

Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku.

Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bunda kutarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpagutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.

“Tidak, Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh beginian,” katanya.

“Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?” tanyaku.

“Kamu tahu?” tanyanya.

“Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?” tanyaku. “Sampai berfantasi ama Doni.”

Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpagutan, nafas ibuku makin memburu.

Aku lalu menarik wajahku lagi, “Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu.”

“Tidak, Don… hhmm…” bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku.

“Sudah, Don, sudah… bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak.”

“Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?” tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.

“Itu… hmmmm… itu… itu karena bunda khilaf, maafin bund… hhmfff,” bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya.

Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.

“Baiklah, baiklah… bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!” katanya.

“Buka bajumu!”

Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku mengurungkan niatku. Aku berdiri.

“Maafin Doni, bunda. Maaf!”

Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak kutanggapi, aku pun tertidur.

Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.

“Doni!?” bunda terkejut.

“Oh, maaf, bund,” aku segera menutup pintu kembali.

Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi. “Biasanya Doni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih.”

“Kamu mau mandi?” tanyanya. “Masuk aja!”

“Lho, bunda ‘kan di dalam,” kataku.

“Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?” katanya.

0 Komentar

Type above and press Enter to search.